Kamis, 05 Desember 2013

Ahli Hukum: Kasus Bioremediasi Masuk Ranah Perdata


Ilustrasi (Okezone)Ilustrasi (Okezone)

JAKARTA - Kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) hingga kini masih menjadi polemik. Dua pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej dan pakar hukum administrasi dari Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Simatupang sepakat bahwa kasus Chevron merupakan masuk ranah perdata.

Hal itu terungkap dalam sidang perkara bioremediasi PT CPI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah Rabu 18 September 2013 kemarin.

Dalam persidangan itu, Dian Puji yang memberikan keterangan di muka persidangan mengatakan, keuangan negara yang dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikor, adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kerugian negara yang dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikor, adalah kekurangan uang, surat berharga, maupun barang yang nyata dan pasti disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian, yang dilakukan aparatur negara, khususnya bendahara maupun pejabat negara yang mengelola keuangan negara,” jelas Dian Puji dalam keterangannya, Kamis (19/9/2013).

Ihwal tuduhan adanya dugaan korupsi dalam kasus ini, kata Dian ialah lantaran biaya bioremediasi dimintakan penggantian kepada pemerintah sebagai cost recovery. Karena biaya dalam cost recoverypada hakikatnya adalah biaya operasional kegiatan hulu migas yang diatur dalam kontrak kerjasama (PSC), maka biaya yang dihasilkan merupakan kesepakatan antar dua pihak.

“Sepanjang semua (biaya yang ditimbulkan) telah diperjanjikan, maka itu semua menjadi pembagian bagi para pihak,” imbuhnya.

Sementara itu, guru besar hukum UGM Edward Omar Syarif Hiariej mengatakan, apabila seseorang maupun korporasi melakukan perjanjian, maka ia berada di wilayah keperdataan. Persoalan yang timbul, tidak bisa dibawa ke ranah pidana apalagi dijerat dengan pasal-pasal UU Pemberantasan Korupsi.

Edward juga menyatakan, persoalan yang timbul dari kegiatan bioremediasi PT CPI tidak bisa diadili dengan UU Pemberantasan Tipikor, termasuk dengan Pasal 14 UU Pemberantasan Tipikor. Karena berkaitan dengan penggunaan Pasal 14 itu, UU Pemberantasan Tipikor sendiri telah membatasi hanya pada tindak pidana yang diatur dalam UU tersebut.

“Tidak selamanya perbuatan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara harus pidana. Maka dari itu, pembentuk UU Pemberantasan Tipikor memasukkan komponen Pasal 32, yang mengatakan bahwa penyelesaiannya dilakukan secara perdata,” tandas Edward.

Sementara itu, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan mengungkapkan bahwa PT CPI meminta agar mekanisme penyelesaian perdata sebagaimana dimuat dalam Production Sharing Contract (PSC) yang menjadi landasan operasi CPI di Indonesia dapat diterapkan dalam kasus ini.

“Production Sharing Contract (PSC) yang menjadi landasan operasi CPI di Indonesia mengikat secara hukum CPI dan Pemerintah Indonesia dan secara jelas telah memuat mekanisme penyelesaian secara perdata jika ada perselisihan mengenai proyek-proyek dalam pelaksanaan PSC. Kami meminta agar diterapkan mekanisme PSC dalam kasus ini,” terang Dony. (put)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar