Sabtu, 16 November 2013

Virtual Value Chain

Perusahaan moderen dewasa ini harus berkompetisi di dalam dua lingkungan yang berbeda: dunia nyata (physical world) dan dunia maya (virtual world). Dunia maya secara cepat berkembang sejalan dengan majunya teknologi informasi yang menawarkan produk-produk barunya seperti e-commerce dan bentuk-bentuk e-business lainnya. Kenyataan ini berarti bahwa perusahaan harus memiliki kemampuan untuk bersaing di kedua dunia tersebut. Esensi dari persaingan yang ada pada dasarnya  terfokus pada proses penciptaan produk atau jasa bagi pelanggan. Proses yang dikenal sebagai “value creation” tersebut memiliki karakteristik yang berbeda pada masing-masing dunia. Di dalam dunia nyata, aktivitas atau proses penciptaan produk atau jasa biasanya melalui beberapa tahap generik yang diistilahkan sebagai “value chain” oleh Michael Porter. Ada dua tahapan besar yang biasa dilakukan, masing-masing pada sisi “supply” dan sisi “demand”. Proses di dalam sisi penawaran adalah pengadaan bahan mentah, penyimpanan di gudang, dan produksi bahan mentah menjadi barang jadi; sementara aktivitas pada sisi permintaan adalah pendistribusian barang, penciptaan kebutuhan (marketing), dan penjualan (sales). Dalam format ini, produk atau jasa yang dihasilkan ditawarkan kepada pasar nyata (market place). Keberadaan informasi di dunia ini lebih sebagai kebutuhan penunjang untuk membantu manajemen internal dalam mengambil keputusan. Tujuannya adalah agar proses di dalam perusahaan menjadi lebih efisien dan efektif, sehingga kualitas produk atau jasa dengan sendirinya akan meningkat (cheaper, better, and faster).
Hal berbeda terjadi di dunia maya. Informasi justru menjadi salah bahan mentah produksi yang dapat ditawarkan dan dijual kepada calon pelanggan. Lihatlah bagaimana Federal Express memiliki “package tracking system” yang memungkinkan pelanggan secara gratis mengetahui status dan lokasi barang yang dikirimnya melalui internet. Fasilitas ini walaupun tidak secara langsung mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, namun berhasil meningkatkan loyalitas pelanggan karena kepuasan yang diperolehnya. Contoh lain adalah Geffen Records (MCA’s Music Division) yang menawarkan pelanggan untuk memilih lagu-lagu favorit dari sekian ribu daftar lagu lama dan baru yang ada, untuk selanjutnya dipindahkan ke piranti kaset atau CD dan dikirimkan ke pelanggan. Kunci keberhasilan bisnis saat ini terletak pada kemampuan manajemen dalam menyusun strategi untuk menggabungkan konsep perdagangan di dunia nyata dan di dunia maya.
Value Addding Process
Untuk membedakannya dengan pasar pada dunia nyata, arena perdagangan di dunia maya diistilahkan sebagai “market space”. Berbeda dengan proses penciptaan produk atau jasa di dunia nyata, dalam dunia ini ada lima tahapan utama yang biasa dilalui agar proses penambahan nilai dari sebuah informasi (value adding process) dapat terjadi. Kelima tahap tersebut adalah:
1. Organizing;
2. Selecting;
3. Synthesizing; dan
4. Distributing.
Proses “gathering” adalah aktivitas pengumpulan informasi atau data mentah terkait dari lapangan yang relevan dengan bisnis perusahaan yang bersangkutan. Contohnya adalah informasi mengenai pelanggan, daftar harga berbagai jenis barang, rekaman transaksi di masa lalu, dan lain sebagainya. Informasi yang sangat banyak dan beragam jenisnya ini biasanya disimpan dalam sebuah database khusus (datawarehouse).
Proses “organizing” adalah aktivitas mengatur informasi yang ada sedemikian rupa sehingga mempermudah proses pengelolaannya. Contoh mengorganisasikan informasi adalah dengan cara klasifikasi berdasarkan karakteristik tertentu. Dalam dunia musik misalnya, sering kali lagu-lagu dikategorisasikan berdasarkan iramanya, seperti jazz, klasik, pop, rock, dan lain sebagainya.
Proses “selecting” adalah aktivitas dimana informasi yang telah ada dan diorganisasikan dapat secara mudah dipilih berdasarkan filter atau kriteria tertentu. Misalnya sebuah toko buku yang menyediakan layanan bagi pelanggannya untuk melakukan pencarian terhadap buku berdasarkan beberapa kriteria seperti topik, judul buku, pengarang, dan indeks-indeks lainnya.
Proses “synthesizing” adalah aktivitas penggabungan beragam informasi yang dipilih menjadi satu buah paket utuh. Contoh klasiknya adalah di dalam bisnis multimedia, dimana seseorang dapat dengan mudah menggabungkan informasi yang berkaitan dengan teks, suara, video, dan audio ke dalam sebuah paket CD.
Proses “distributing” adalah akvitias mengirimkan informasi yang telah diolah ke pihak-pihak yang membutuhkannya. Dengan fasilitas “file attachment” yang disediakan oleh email, sebuah perusahaan dapat dengan mudah mendistribusikan produk-produknya ke pelanggan. Atau seorang pelanggan dapat dengan mudah melakukan “file download” dari sebuah situs penyedia jasa informasi.
Konsep “Value Matrix”
Bagaimana cara membangun suatu strategi untuk menggabungkan “physical value chain” dengan “virtual value chain” untuk menciptakan suatu keunggulan kompetitif ?  Ada tiga langkah generik yang biasa dilalui oleh para praktisi manajemen (Rayport, 1995), yaitu:
1. Visibility;
2. Mirroring Capability; dan
3. New Customer Relationship.
“Visibility” adalah suatu upaya untuk mempelajari seberapa besar peranan informasi berpengaruh terhadap proses penciptaan produk atau jasa di dunia nyata (physical value chain). Contohnya adalah pentingnya Sistem Informasi Pergudangan untuk membantu manajemen dalam menekan biaya total penyimpanan barang tanpa mengurangi tingkat kepuasan pelanggan (service level).
Sumber: Jeffrey F. Rayport et al, 1995
Pada tahap “Mirroring Capability”, hasil dari peluang-peluang yang didapatkan dari tahap sebelumnya dianalisa lebih lanjut untuk dicari kemungkinannya ditransfer ke dalam “virtual value chain” dengan cara menghilangkan beberapa proses fisik di “physical value chain”. Menyambung contoh Sistem Informasi Pergudangan di atas, jika sistem yang dibangun terbukti dapat secara optimum membantu perusahaan dalam mengelola manajemen pergudangannya, tidak mustahil jika ilmu manajemen JIT (Just-In-Time) Inventory diterapkan sehingga perusahaan yang bersangkutan tidak perlu memiliki gudang lagi. Sudah banyak perusahaan-perusahaan yang menerapkan konsep ini dengan memanfaatkan teknologi e-commerce tipe B-to-B.
Setelah sebagian proses fisik di dunia nyata ditransfer ke dalam dunia maya, langkah selanjutnya adalah mencoba untuk menjual suatu jasa pelayanan baru kepada calon pelanggan atau market segmen tertentu (new customer relationship) dengan berbasis pada hasil gabungan kedua “value chain” tersebut (value matrix). Berbagai model bisnis baru yang ditawarkan oleh beratus-ratus perusahaan DotCom dewasa ini merupakan contoh dari hasil penggabungan tersebut. Tengoklah bagaimana Amazon.com dan Ebay.com telah menguasai industri retail buku dan perlelangan.
Pada akhirnya, faktor kreativitas pemilik dan/atau pengelola perusahaan akan sangat mempengaruhi sukses tidaknya sebuah model bisnis yang ditawarkan. Kreativitas merupakan kunci utama untuk sukses karena dalam konsep “value matrix”, ciri khas produk atau pelayanan (product differentiation) yang ditawarkan kepada pelanggan sangat bergantung kepada strategi praktisi manajemen dalam menggabungkan ke dua dunia tersebut. Dengan berpegang pada pepatah “customer is a king”, maka jelas bahwa prinsip “cheaper, better, faster” masih dipegang teguh oleh pasar dalam memilih beragam jenis produk atau jasa yang ditawarkan. Dengan kata lain, terlepas dari akan digabungkannya kedua dunia atau tidak, selama perusahaan dapat menjual produk atau jasanya dengan harga murah, kualitas baik, dan pelayanan yang cepat, maka nischaya pelanggan akan datang dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar