Jumat, 22 November 2013

melihat (SCM) di CARREFOUR

Guna memberi jaminan ketersediaan berbagai produk bagi ribuan pelanggannya setiap hari, serta menciptakan efisiensi bagi dirinya dan para pemasok, Carrefour membenahi sistem rantai pasokannya. Bagaimana sistem SCM baru ini bekerja?

Seorang ibu yang sedang berbelanja di sebuah supermarket tampak bersungut-sungut, karena beberapa produk yang dicari tidak tersedia. “Maaf, Bu, barangnya sedang kosong. Stoknya habis,” seorang SPG buru-buru menjelaskan.
Barang tak tersedia memang kerap terjadi di gerai modern. Kalau pun ada, biasanya harga barang itu melonjak mengikuti tingginya permintaan. Apa penyebabnya? Salah satunya karena rantai pasokan (supply chain) ada yang terganggu. Bisa saja, barang yang dipasok telat dikirim. Atau, bisa jadi pemasok tidak mampu memenuhi service level yang disepakati dengan peritel. Misalnya, semula disepakati supplier bisa memasok 100 unit barang ke peritel setiap minggunya, tapi kenyataannya hanya sanggup memasok 50 unit. “Di Carrefour, barang tidak ada atau langka sudah tidak pernah terjadi lagi. Sebab, jaminan pasokannya selalu ada,” kata Irawan D. Kadarman, Direktur Corporate Affairs PT Carrefour Indonesia, mengklaim.
Menurut Irawan, sistem rantai pasokan memang memegang peran penting dalam industri ritel. Terlebih bagi peritel besar sekelas Carrefour, yang memiliki 75 gerai dengan lokasi tersebar di berbagai tempat (30 gerai Carrefour di bawah PT Carrefour Indonesia dan 45 gerai Carrefour Express di bawah PT Alfa Retailindo Tbk.) dan bekerja sama dengan lebih dari 4 ribu pemasok. “Tanpa adanya rantai pasokan yang efisien, mengelola magnitude sebesar itu, sudah tidak mungkin. Jadi dengan adanya rantai pasokan yang efisien, maka jaminan pasokan barang selalu ada dan harga untuk konsumen akan selalu terkelola dengan baik,” Irawan menerangkan.
Seperti apa sistem supply chain management (SCM) yang dikembangkan Carrefour? Menurut Bayu A. Soedjarwo, Manajer Logistik Senior Carrefour, SCM sebenarnya sudah dikembangkan di perusahaannya sejak lama ketika Carrefour baru memiliki beberapa gerai. Ketika itu, SCM yang dikembangkan masih sangat sederhana. Fungsinya hanya untuk membantu proses penerimaan barang di gerai. Selain itu, fokusnya masih pada barang pangan siap saji. “Kami mulai serius mengembangkan SCM ini sejak Juli 2007. Kami investasi di bidang teknologi informasi (TI) untuk mengembangkan model rantai pasokan yang berbeda, sehingga memudahkan pemasok dan gerai,” tutur Bayu.
Untuk tujuan itu, dibeli sebuah aplikasi ternama khusus untuk rantai pasokan dan sekaligus mampu menjalankan warehouse management system, yakni InfoLog. Dengan InfoLog, semua proses dalam rantai pasokan bisa diintegrasikan. Selain itu, sistem ini memudahkan kolaborasi Carrefour dengan para pemasok – walaupun diakui Irawan, belum semua pemasok terintegrasi. “Saat ini fokus kami pada efisiensi yang bisa diberikan, sehingga bisa dinikmati oleh pelanggan berupa keberadaan produk berkualitas dengan harga yang kompetitif,” kata Irawan.
Rantai pasokan yang dibangun Carrefour ini berdasarkan perhitungan tingkat optimasi dari pabrik atau pemasok sampai ke rak (shelf) gerai. Hal ini membutuhkan analisis dari setiap jenis produk dan supply chain pemasok. Metode yang dipakai Carrefour untuk SCM ini dengan menerapkan proses just-in-time (JIT) di pusat distribusi (Distribution Center/DC), yang disebut Cross Dock. Tujuannya untuk mengefisienkan proses sehingga tidak diperlukan adanya stok di pusat distribusi. Jadi ketika pemasok mengirim barang hari ini ke DC Carrefour di Pondok Ungu dan Lebak Bulus, maka keesokan harinya barang itu sudah terkirim ke gerai-gerai. Singkatnya, metode Cross Dock memungkinkan prosesnya lebih transparan dalam distribusi produk karena tidak ada produk yang terdegradasi (tertinggal) di gudang. “Pada dasarnya fungsi DC kan untuk meredistribusi produk, bukan untuk menyimpan produk. Jadi melalui Cross Dock kami mengembalikan DC ini ke fungsi sebenarnya,” Bayu
menjelaskan. “Kami yang pertama kali menerapkan JIT di pusat distribusi,” Irawan mengklaim.
Keunikan cara tersebut – dibanding bila pemasok mengirimkan langsung – bahwa produk-produk tadi sudah dikonsolidasi ketika dikirim ke gerai. Misalnya, bila biasanya sebuah gerai menerima 30 truk yang berbeda, kini cukup menerima 5 truk saja. Pasalnya, para pemasok bisa mengirimkan ke DC Carrefour. Selanjutnya, barang dari berbagai pemasok itu akan dipilah-pilah sesuai dengan permintaan gerai. Sebagai contoh, kini sebuah truk yang datang ke gerai Carrefour Ratu Plaza, hanya perlu membawa produk-produk yang dibutuhkan khusus oleh gerai itu.
Irawan juga menjelaskan, rantai pasokan yang dikembangkan Carrefour ini bukan hanya berdasarkan proses pergerakan fisik produk, melainkan memperhatikan pula aliran informasi. Selain itu juga mempertimbangkan penyederhanaan dokumentasi untuk penagihan dari pemasok dan pembayaran oleh Carrefour. Maklum, keberhasilan rantai pasokan di peritel sangat ditentukan oleh aliran informasi dari gerai sampai ke pemasok, dan sebaliknya, disertai sinkronisasi data kedua pihak. “Carrefour membangun rantai pasokan dengan mengandalkan dukungan pemasok terhadap efisiensi yang diciptakan dalam rantai pasokan ini,” ujarnya memberi alasan.
Dijelaskan Bayu, untuk kebutuhan dalam proses aliran order, pihaknya mengembangkan Central Order Pool (COP), di mana proses pengorderan dilakukan secara otomatis dan terpusat berdasarkan posisi stok di gerai dan parameter-parameter lain. Untuk melakukan pemesanan barang dengan seluruh pemasok, Carrefour menggunakan sistem Electronic Data Interchange (EDI). Jika order sudah diterima, pemasok bisa menerimanya melalui Web. Ada pula pemasok yang sudah mengintegrasikannya dengan sistem ERP mereka. Selanjutnya, mereka menyampaikan (submit) order itu ke pabriknya, lalu barang pun dikirim ke DC Carrefour.
Nah, mengingat kunci sukses atau tulang punggung proses order tersentralisasi adalah akurasi data stok di gerai dan pusat distribusi Carrefour, pihak Carrefour menerapkan proses cycle count (alias penghitungan stok menggunakan sampling setiap hari). Dengan begitu, akurasi data di pusat distribusi diklaim hampir selalu 100%, walaupun mengelola puluhan ribu jenis produk.
Menurut Frederic Fontaine, Penasihat Teknis Rantai Pasokan Carrefour, rantai pasokan yang tersentralisasi itu memberi beberapa keuntungan, baik bagi Carrefour maupun pemasok. Bagi Carrefour, keuntungan utamanya perbaikan ketersediaan produk di gerai. Menurutnya, hal itu sebenarnya juga merupakan keuntungan bagi pemasok, karena menghilangkan lost of sales yang diakibatkan produk tidak tersedia. Keuntungan lain bagi pemasok adalah proses yang lebih sederhana, karena hanya memproses satu order. Pemasok juga hanya perlu mengirim produk ke satu titik, sehingga lebih menghemat biaya dibanding mengirim produk ke seluruh gerai. Pemasok pun akan merasakan penghematan biaya pengiriman, ketersediaan produk yang lebih terjamin, dan terjaganya kinerja pemasok di Carrefour dalam hal service level.
Toh, diakui Fontaine, tingkat partisipasi mereka untuk bergabung dengan sistem DC masih kurang. Padahal, service level para pemasok itu masih di bawah ekspektasi Carrefour. Saat ini, rata-rata pemasok yang mengantar langsung ke gerai Carrefour memiliki service level 50%. Misalnya, kalau pihak Carrefour memesan 100 unit, mereka hanya mampu memasok 50 unit. Sementara pemasok yang sudah menggunakan jasa logistik, service level-nya sudah 70%-75%. Pihak Carrefour sendiri memberi toleransi untuk service level ini minimum 85%. “Keberadaan DC ini untuk membantu mereka. Dengan begitu, mereka hanya fokus untuk memproduksi barang. Karenanya, kami mengajak pemasok untuk bergabung ke pusat distribusi kami,” Fontaine mengimbau.
Fontaine menyebutkan, orientasi Carrefour ke depan bukan pada pengembangan sistem TI. Pasalnya, sistem TI yang ada diklaim sudah bisa memenuhi kebutuhan. Sasaran utamanya sekarang meningkatkan para pemasok yang masih memiliki service level rendah. Alasannya, kondisi itu menyebabkan lost of sales, baik bagi pemasok maupun Carrefour sendiri. “Target kami meningkatkan service level sehingga bisa mengirim barang secara on time, dan tahu demand kami,” ucap Fontaine.
Salah satu pemasok yang sudah memanfaatkan sistem rantai pasokan yang dikembangkan Carrefour adalah CV Mulyatama – pemasok private label untuk tempat CD, tempat tisu di mobil, dan sebagainya. Menurut Syritama Anas, pemilik Mulyatama, pihaknya bergabung menjadi pemasok Carrefour sejak Februari 2008. “Rantai pasokan baru yang dijalankan Carrefour sangat bagus. Keunggulannya, sistem ini sangat efisien dari segi waktu dan tenaga kerja,” katanya mengakui.
Menurut Syritama, dibanding sistem terdahulu, pada sistem SCM sekarang ini penggunaan tenaga kerja lebih efisien. Dulu, pengiriman dilakukan langsung ke gerai sehingga memerlukan lebih banyak tenaga kerja. Dalam satu hari satu mobil maksimum hanya bisa menuju tiga gerai. Sekarang pengiriman cukup dilakukan satu kali dan sudah mencakup seluruh gerai Carrefour.
Unilever Indonesia, salah satu supplier besar yang menjadi pemasok Carrefour sejak 1998 (ketika peritel asal Prancis ini baru membuka gerainya di Cempaka Putih), juga merupakan pemasok pertama yang ikut serta dalam pengiriman terpusat (centralized delivery) Carrefour sejak pertama kali Carrefour menerapkan sistem rantai pasokan baru.
Menurut Manghirim T. Tobing, Manajer Customer Service Perdagangan Modern PT Unilever Indonesia Tbk., dengan sistem pengiriman terpusat ini, Unilever sebagai pemasok tidak perlu lagi mengirim barang langsung ke gerai-gerai Carrefour, tapi cukup ke gudang Carrefour. Carrefour kemudian akan mengirim barang Unilever ke gerai bersama-sama dengan barang dari pemasok lain.
Sistem pengiriman terpusat ini, lanjut Manghirim, merupakan kolaborasi yang baik antara Unilever dengan Carrefour. “Apabila dilihat dari rantai pasokan secara keseluruhan, kolaborasi ini menghasilkan efisiensi yang bisa dinikmati bersama oleh Unilever dan Carrefour,” ujar Manghirim. “Dengan kapabilitas yang dimiliki Carrefour, sistem rantai pasokan yang baru ini bisa dikembangkan untuk menjangkau daerah yang lebih luas seperti Jawa Barat,” ia menambahkan.
Selain para pemasok, keunggulan sistem rantai pasokan Carrefour juga diakui konsultan TI Hadi Barko. Menurutnya, seluruh gerai Carrefour sudah tersambung ke DC Pondok Ungu dan menggunakan satu sistem ERP (single platform). Menurut Hadi, kalau software-nya berbeda-beda, akan butuh waktu untuk transfer dan kolaborasi datanya tidak real time. Mekanisme kerjanya, sistem ERP yang digunakan Carrefour akan memicu ke pemasok melalui fasilitas e-business ataupun e-mail. “Sebaiknya top ten suppliers atau para pemasok yang mewakili 80% nilai transaksi, memiliki koneksi langsung ke Carrefour,” kata Hadi menyarankan.
Pakar supply management yang sekarang bermukim di Singapura ini menyarankan, penerapan SCM ini bisa lebih dioptimalkan. Syaratnya, pihak Carrefour harus mengintegrasikan sistem SCM-nya itu lewat jaringan komunikasi online dengan gerai-gerai yang mempunyai nilai 80% dari seluruh nilai transaksi Carrefour. Selain itu, ia juga mengingatkan perlunya diperhatikan performance management tool di masing-masing gerai – yang bisa dianalisis oleh manajer gerai untuk kepentingan forecast atau estimasi. “Tim SCM dan manajer gerai harus bisa membaca dan menginterpretasi hasil performance management tool untuk keputusan berikutnya,” katanya.
Lalu, sistem penerimaan barang (goods receipt) di gudang masing-masing gerai disarankan bisa menggunakan sistem barcoding – untuk Top 20 gerai sebaiknya malah dengan teknologi radio frequency identification (RFID) – sehingga pergerakan barang/stok langsung termonitor (terdeteksi) . “Tingkat akurasi di masing-masing gerai minimum juga harus 95%,” ujarnya menganjurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar