Selasa, 19 November 2013

Dari Linear Supply Chain Menuju Networked Supply Chain


Perkembangan teknologi internet yang sedemikian cepat telah merubah anatomi manajemen pasokan dari yang linear (LSC=Linear Supply Chain) menjadi jejaring (NSC=Networked Supply Chain). Jika dulu produk dan informasi mengalir secara linear dari pemasok, menuju pabrik, dan akhirnya ke wholesalers dan retailers, saat ini produk dan informasi mengalir bebas dari satu entiti organisasi menuju yang lain tanpa hambatan dan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Setiap hari perusahaan akan selalu mencari cara agar proses atau akvitas bisnisnya dapat menjadi selalu lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik. Topologi LSC sangat sulit untuk melakukan hal tersebut karena hubungan keterkaitannya yang “hirarkis” membuatnya menjadi statis, sementara NSC yang lebih bebas membuat hubungan keterkaitan antar entiti perusahaan menjadi sangat dinamis. Namun merubah paradigma dari LSC menjadi NSC tidak sekedar membalikkan telapak tangan, karena selain dibutuhkan pengertian secaramendalam akan filosofis baru tersebut, struktur manajemen atau pengelolaan rantai pasokan akan menjadi jauh lebih kompleks, karena banyaknya pihak yang terlibat dan saling “tidak dapat mengontrol” satu dengan yang lainnya.

Kompleksitas yang ada sebenarnya berasal dari satu hal, yaitu bagaimana mensinkronisasi kegiatan operasional pemasokan produk atau jasa (supply) dengan prediksi kebutuhan (demand) yang biasa diperkirakan oleh fungsi pemasaran dan pembelian. Namun karena terlibatnya banyak sekali entiti bisnis dalam NSC, baik di pihak supply maupun demand, maka diperlukan suatu kegiatan yang dapat mengkoordinasikan semua pihak tersebut dengan baik.



Dilihat dari sisi sistem informasi,  ada dua value drivers yang utama harus diperhitungkan dalam NSC:
1.     Bagaimana cara mempengaruhi permintaan pelanggan berdasarkan fisibilitas inventori; dan
2.     Bagaimana mengkoordinasikan seluruh pergerakan produk, informasi, dan sumber daya lainnya agar memenuhi pesanan dan permintaan pelanggan.

Yang dimaksud dengan mempengaruhi permintaan pelanggan berdasarkan fisibilitas inventori adalah bagaimana mengkoordinasikan proses-proses yang berkaitan dengan mengelola relasi dengan pelanggan untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku pelanggan sehingga perusahaan dapat mempersiapkan jadwal pemasokan yang sesuai dengan besarnya permintaan. Berdasarkan definisi ini, terlihat bahwa ada dua kunci sukses yang harus menjadi fokus perusahaan:
·       Front-Office Processes, yang bertanggung-jawab untuk membina hubungan baik dengan pelanggan dari hari ke hari sehingga perusahaan dapat mengerti benar kira-kira berapa besar volume dan berapa tinggi frekuensi permintaan pelanggan dari waktu ke waktu. Tujuan dari pengelolaan proses ini adalah untuk mengurangi resiko kesalahan prediksi terhadap kebutuhan pelanggan yang dapat menyebabkan terjadinya shortage pada suatu saat tertentu (menurunnya service level perusahaan). Proses-proses yang terkait dengan aktivitas pengelolaan ini antara lain: segmentasi pelanggan berdasarkan berbagai kriteria, strategi pemenuhan service level, pengelolaan kampanye produkdan jasa, manajemen harga dan promosi, pemantauan sistem inventori, dan lain sebagainya.
·       Back-Office Processes, yang bertanggung-jawab untuk membuat perencanaan pemenuhan permintaan pelanggan melalui pengembangan rencana strategis pemasokan produk atau jasa untuk jangka waktu pendek, menengah, dan panjang. Tentu saja perencanaan demand dan supply yang dibuat ini berdasarkan hasil dari “pemantauan” terhadap perilaku permintaan pelanggan yang telah dilakukan oleh tim Front-Office Processes. Selain perencanaan pada kedua aspek tersebut, output lain yang penting dihasilkan adalah strategi yang akan dipergunakan untuk mensinkronisasikan antara perencanaan demand dan supply tersebut dengan karakteristik dari semua pemasok dan mitra bisnisperusahaan, agar selain efektif, tingkat efisiensi tinggi juga dapat dicapai.

Yang dimaksud dengan mengkoordinasikan seluruh pergerakan produk, informasi, dan sumber daya lainnya adalah bagaimana menciptakan suatu rangkaian proses dengan tujuan agar pelanggan dapat melakukan pemesanan produk dan relasi lainnya dengan perusahaan kapan saja, dimana saja, dan dengan cara yang cepat, murah, dan fleksibel (real-time dan on-line). Tentu saja hal ini akan menjadi pemicu bagi manajemen untuk menyusun strategi operasional eksekusi NSC agar suatu kinerja maksimum  yang kerap diistilahkan sebagai “supply chain excellence”. Berbeda dengan value driver pertama yang lebih bersifat strategis, value driver ini lebih diarahkan pada hal-hal yang bersifat operasional. Kunci suksesnya terletak pada dua aspek serupa, yaitu:
·       Front-Office Processes, yang memiliki fokus pada tersedianya kanal-kanal distribusi yang menghubungkan antara pelanggan dengan perusahaan, baik yang bersifat konvensional (seperti teller, kios, dsb.) maupun modern (seperti internet, PDA, handphone, dsb.) agar pelanggan dapat melakukan transaksi dan interaksi dengan perusahaan kapan saja yang bersangkutan menghendaki. Akhir dari rangkaian proses ini adalah “janji” perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan berdasarkan kebutuhannya, seperti konfigurasi, durasi penyediaan produk, cara pengiriman, dan lain-lain.
·       Back-Office Processes, yang memiliki fokus untuk mengkoordinasikan kegiatan opersaional pembeliaan, manufaktur, produksi, dan distribusi yang pada dasarnya dikerjakan oleh berbagai pihak terkait sebagaimana yang direpresentasikan dalam NSC perusahaan. Karena sifat Front-Office Processes yang real-time dan on-line, maka hubungan antara perusahaan dengan vendor dan mitra bisnisnya juga harus dapat terjalin secara real-time dan on-line. Jika tidak, peristiwa yang kerap terjadi adalah lebih cepatnya proses permintaan pelanggan dibandingkan dengan proses pemasokan produk atau jasa yang diinginkan.

Keseluruhan kunci sukses perusahaan yang berbasis NSC tersebut tidak akan menjadi kenyataaan jika perusahaan tidak memiliki sebuah infrastruktur teknologi informasi yang canggih (state-of-the-art) dan berkualitas.


Di dalam perusahaan harus tersedia suatu jaringan intranet yang baik, sehingga semua pihak dapat berkolaborasi, berkomunikasi, dan berkooperasi dengan baik. Pada bagian yang berkaitan dengan Front Office, perusahaan harus memanfaatkan teknologi internet dan peluang di dunia maya untuk berhubungan dengan para pelanggan. Sementara di sisi Back Office, mau tidak mau baik melalui internet maupun ekstranet, perusahaan harus pula menghubungkan dirinya dengan semua mitra bisnis yang bekerja-sama dalam proses penciptaan produk atau jasa yang ditawarkan. Kualitas jaringan intranet, internet, maupun ekstranet yang dimiliki harus pula dijaga, terutama yang berkaitan dengan isu-isu keamanan (security), kecepatan (speed), fleksibilitas pengembangan (scalability), dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar