Untuk mengelola aliran barang dan jasa dalam supply chain, pertama-tama
yang harus diketahui adalah gambaran sesungguhnya dan lengkap mengenai
seluruh mata-rantai yang ada, mulai dari pertama sampai kepada yang
terakhir. Sebagai misal, supply chain dari ‘pabrik kertas’ :
Awal supply chain dari pabrik kertas adalah hutan dari kayu yang
menghasilkan bahan untuk kertas atau gudang dari bahan yang didaur ulang
(recycled products) yang mengawali proses pembuatan kertas tersebut.
Tetapi tidak hanya itu saja. Bahan baku kertas perlu dilengkapi dengan
bahan penolong juga agar bahan baku dapat diproses menjadi kertas.
Bahan penolong ini sangat banyak sekali misalnya air yang berlimpah,
bahan kimia yang sangat banyak jenisnya, plastik dan alat pengikat untuk
packaging dan sebagainya.
Disamping itu pabrik kertas banyak menggunakan berbagai jenis
peralatan yang digunakan dan puluhan ribu jenis material dan suku cadang
yang digunakan yang awal supply chainnya adalah pabrik baja dan pabrik
pembuat peralatan, material dan suku cadang tersebut.
Pokoknya ada puluhan dan mungkin ratusan supplier dan suppliers’ supplier (subsuppliers) yang tersangkut.
Disamping itu perlu juga diketahui berbagai sifat pergerakan supply
chain untuk berbagai inventory. Seperti diketahui, yang dimaksud dengan
inventory adalah beberapa jenis barang yang disimpan di gudang yang
mempunyai sifat pergerakan yang agak berbeda satu sama lain sehingga
panjang pendeknya supply chain juga berbeda seperti dapat diterangkan
sebagai berikut. Ada beberapa jenis inventory, yaitu : Barang baku (raw
materials)
Mata rantai pertama adalah di pabrik pembuat bahan baku ini dan mata
rantai terakhir adalah di pabrik pembuat finished product (bukan di
konsumen akhir)
Barang baku ini di pabrik pembuat finished product digabung dengan
bahan penolong dan dengan teknologi tertentu diolah menjadi bahan
setengah jadi dan bahan jadi Barang setengah jadi (semi finished
product)
Permulaan mata rantai adalah di pabrik pembuat bahan jadi. Seperti
dijelaskan di depan, bahan setengah jadi adalah hasil dari proses bahan
baku
Bahan setengah jadi dapat langsung diproses di pabrik yang sama
menjadi bahan jadi, tetapi dapat juga dijual kepada konsumen sebagai
komoditas
Jadi akhir dari mata rantai akan sangat tergantung dari hal diatas,
bisa pendek dan bisa panjang Barang jadi (finished product)
Permulaan mata rantai bahan jadi adalah di pabrik pembuatannya,
sebagai hasil dari pengolahan dari bahan baku, melalui bahan setengah
jadi tadi
Akhir mata rantai adalah di konsumen akhir pengguna atau pembeli hasil
produksi tersebut Materials dan spare parts (MRO = materials for
maintenance, repair and operation)
Inventory jenis ini adalah inventory yang digunakan untuk menunjang
pabrik pembuat barang jadi tersebut, yaitu untuk maintenance, repair dan
operation peralatan (equipment) pabriknya.
Mata rantainya bermula dari pabrik pembuat material MRO tadi dan
berakhir hanya sampai perusahaan pembuat barang jadi tersebut, sebagai
the final user (manufacturer) Barang komoditas (commodity)
Inventory jenis ini adalah barang yang dibeli oleh perusahaan tertentu
sudah dalam bentuk barang jadi dan diperdagangkan dalam arti dijual
kembali kepada konsumen
Di perusahaan tersebut, barang ini dapat diproses lagi seperti
misalnya diganti bungkusnya, diperkecil bungkusnya dan sebagainya,
tetapi dapat juga dijual lagi langsung dalam bentuk asli sewaktu
dibelinya
Mata rantai inventory jenis ini bermula dari pabrik pembuat komoditas
tersebut dan berakhir pada konsumen akhir pengguna barang tersebut
Barang komoditas kadang-kadang juga disebut dengan ‘resales
commodities’, karena memang barang tersebut dibeli untuk dijual lagi
dengan keuntungan tertentu. Barang proyek
Inventory jenis ini adalah material dan spare parts yang digunakan
untuk membangun proyek tertentu, misalnya membuat pabrik baru.
Mata rantai panjangnya hampir sama dengan MRO materials, jadi bermula
dari pabrik pembuat barang-barang tersebut dan berakhir sampai
perusahaan pembuat barang jadi yang dimaksud.
Hal-hal yang sudah dikemukakan tersebut dapat dijelaskan seperti dalam
Gambar 3 di atas. Jelas dari gambaran tersebut di atas bahwa supply
chain untuk inventory jenis bahan baku, barang setengah jadi dan barang
jadi lebih panjang dan lebih rumit dibanding dengan supply chain untuk
jenis inventory lainnya.
MENGUSAHAKAN OPTIMALISASI SUPPLY CHAIN
Tipikal supply chain dewasa ini sedang mengalami perubahan besar karena
perubahan atau perkembangan pasar. Dahulu produk yang mempunyai brand
atau nama yang kuat seakan-akan mendikte pasaran dan pelanggan akan
tergantung dan cenderung untuk mencari produk tersebut. Pabrik dengan
demikian juga cenderung akan memasarkan langsung produk tersebut atau
melalui retail outletnya sendiri, sedangkan hanya sebagian saja dari
produksi dialokasikan atau disalurkan melalui retail outlet tertentu
yang dipilihnya. Sekarang keadaan sudah lain.
Pelanggan makin mempunyai pilihan yang banyak dan berada pada posisi
untuk menentukan sendiri brand pilihannya. Dan retail outlet makin lebih
mempunyai keleluasaan dan berkuasa untuk menjual dan memajang produk
yang dipilihnya sendiri berdasarkan kehendak dan selera pelanggan.
Perkembangan tersebut mempengaruhi pula bagaimana cara
mengoptimalisasikan supply chain sedemikian rupa sehingga mencapai
manfaat yang optimal. Dalam hubungan dengan ini, perlu dibicarakan
mengenai beberapa hal antara lain sebagai berikut :
Tuntutan pelanggan yang terus berkembang
Kekuasaan retailer yang makin besar
Dilema dalam pencapaian optimalisasi
Kendala dalam ‘membangun kepercayaan’
Kemitraan sebagai suatu solusi
Teknologi informasi sebagai katalisator
Tuntutan pelanggan yang terus berkembang Seperti di atas telah
dijelaskan, terjadi perkembangan dan perubahan dalam sifat, intensitas,
ketergantungan dari tuntutan para pelanggan. Dengan makin terbukanya
pasar bebas yang mendunia (globalisasi) maka terjadi begitu banyak dan
begitu ketat persaingan antar perusahaan dan antar produk. Bagi para
konsumen ini merupakan keuntungan besar karena mereka mendapatkan :
harga yang lebih kompetitif
pilihan sumber pembelian lebih banyak
mutu barang yang lebih baik
pilihan brand yang lebih banyak.
penyediaan yang lebih cepat
layanan lain yang lebih baik.
Oleh karena itu supply chain yang tadinya hanya atau lebih terfokus pada
sisi hulu, yaitu hubungan antar sub-suppliers-suppliers-manufacturer
bergeser kearah hilir, yaitu
manufacturer-wholesalers-retailers-consumers. Inilah manifestasi dari
‘consumer focus’ atau ‘consumer oriented’ dalam supply chain management.
Sikap-sikap para pelanggan sebagai berikut juga tidak boleh diabaikan
dan harus diperhatikan dengan sungguhsungguh, yaitu antara lain bahwa
pelanggan (consumers) cenderung bersikap :
menghindari penjual yang telah pernah mengecewakannya
ingin mengalami proses pembelian barang dan jasa yang menyenangkan
menyenangi pendekatan penjualan yang kreatif, ramah, murah (pengecualian adalah pembeli yang mengejar brand yang berprestige)
menuntut ‘more for less’
mencari toko yang serba ada (department store, shopping mall, super
market dan sebagainya), karena makin terbatasnya waktu berbelanja
menghendaki barang yang aman dari segala hal
pokoknya menghendaki harga, mutu dan service yang lebih baik lagi
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengendali utama supply chain dengan demikian adalah para consumers.
Kekuasaan retailer yang makin besar Kalau di atas telah disimpulkan
bahwa pengendali utama supply chain adalah para consumers, maka yang
berhubungan langsung dengan mereka adalah para retailer. Para retailer
ini menanggapi kehendak dan tuntutan para consumers yang makin meningkat
ini dengan mengadakan perubahan-perubahan besar dalam penataan,
dekorasi, teknik pelayanan dan personil tokonya. Meskipun keputusan
terakhir untuk memilih barang adalah pada para consumers, tetapi sampai
batas tertentu para retailer dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
ini dengan cara-cara antara lain sebagai berikut :
Membuat display yang menarik untuk produk tertentu
Memberikan discount yang menarik untuk produk tertentu
Memberikan bonus tertentu seperti hadiah dan sebagainya
Menawarkan secara lebih aktif
Dan sebagainya Umumnya keuntungan yang diperoleh oleh retailer relatif tidak banyak.
Makin banyak retailer, makin sedikit prosentase keuntungan yang
diperoleh karena makin banyak berarti makin ketat persaingan dan
sebaliknya. Oleh karena itu, wholesaler umumnya memiliki keuntungan yang
jauh lebih besar karena jumlah wholesaler umumnya lebih sedikit. Disini
berlaku hukum ‘supply and demand’. Oleh karena itu, para retailer
umumnya lebih mengandalkan pada jumlah penjualan (omzet). Retailer besar
terkenal seperti Kmart, Wal-Mart, Home Depot dan sebagainya memperoleh
keuntungan besar karena omzetnya sangat besar. Pengurangan biaya di
retailer umumnya hanya sedikit sekali dapat dilakukan, namun di pihak
wholesaler lebih banyak yang dapat dilakukan penghematan. Dilema dalam
pencapaian optimalisasi Langkah pertama yang sangat penting dalam
melakukan supply chain management yang baik adalah menggalang dan
memperbaiki komunikasi harian antara semua pelaku supply, mulai dari
hilir sampai ke hulu (retailer, distributor, manufacturer dan supplier
).
Komunikasi yang baik ini dapat mencegah kelambatan pengadaan barang
maupun penumpukan barang di gudang yang berlebihan. Dalam praktek,
sayangnya, sering kali dijumpai semacam keengganan melakukan komunikasi
ini, karena beberapa pihak masih ada yang menganggap hal tersebut
sebagai sesuatu yang bersifat rahasia atau sebagai sesuatu layanan
ekstra. Karena dianggap memberikan layanan ekstra, ada yang minta
bayaran, baik secara resmi ataupun tidak resmi. Kendala ini tidak saja
dijumpai dalam hubungan atau komunikasi antar perusahaan tetapi juga
ditemui dalam satu perusahaan, yaitu misalnya antara bagian logistik
(penyedia barang) dan bagian teknik atau pabrik (pengguna barang). Oleh
karena itu dalam hal ini perlu kepada semua pihak diyakinkan dahulu
perlunya membangun informasi yang terbuka, cepat dan akurat mengenai
hal-hal yang menyangkut penyediaan barang, agar semua pihak dapat
memperoleh keuntungankeuntungan optimal. Kendala dalam ‘membangun
kepercayaan’ Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk
mengoptimalisasikan supply chain management adalah ‘membangun
kepercayaan’ antara semua pelaku supply barang dan jasa yang
bersangkutan. Namun dalam praktek banyak kendala bahkan banyak yang
tidak percaya bahwa hal tersebut sungguh-sungguh dapat dicapai. Beberapa
hal yang melatar belakangi kendala tersebut antara lain adalah :
Masih banyaknya anggapan bahwa supplier atau pihak lain adalah ‘lawan’ atau bahkan ‘musuh’ dalam berbisnis dan bukan ‘mitra’
Masih banyaknya anggapan bahwa antara supplier atau pihak lain dan
perusahaan sendiri pada hakekatnya mempunyai tujuan yang berlainan
bahkan saling bertentangan, sedangkan sebetulnya tujuan akhir adalah
sama yaitu samasama perlu ‘survice’ dan ‘growth’
Dalam negosiasi, masih banyak yang mengharapkan hasil yang ‘win-loose’ dan kurang mengenal konsep ‘win-win negotiation’
Banyak yang masih melihat hubungan ‘jangka pendek’ dan kurang melihat hubungan ‘jangka panjang’ yang saling menguntungkan
Oleh karena itu konsep-konsep baru seperti ‘win-win negotiation’,
‘supplier partnering’ dan sebagainya perlu dikembangkan diantara para
peserta kegiatan supply dan di dalam perusahaan sendiri untuk
menciptakan kepercayaan yang sungguh diperlukan dalam mengoptimalkan
supply chain management ini. Partnering sebagai suatu solusi
Optimalisasi supply chain management seperti telah disebutkan di depan,
memerlukan aliran informasi yang lancar, transparan dan akurat, dan
memerlukan kepercayaan antar peserta pengadaan barang dan jasa. Hal ini
hanya mungkin dilakukan melalui proses yang panjang dan antar pihak yang
makin saling mengenal.
Dengan demikian, satu-satunya cara adalah bahwa antara mereka yang
terkait ada semacam partnering. Optimalisasi tidak mungkin dicapai
apabila dilakukan oleh supplier yang terus-menerus berbeda dan berganti,
karena hal-hal yang diinginkan tersebut tidak mungkin akan terwujud
secara optimal. Oleh karena itu dikatakan bahwa partnering adalah salah
satu solusi yang terbaik dalam melakukan optimalisasi supply chain
management ini.
Perlu disampaikan bahwa beberapa prinsip partnering yang perlu dipegang teguh dan dikembangkan terus-menerus adalah :
Meyakini memiliki tujuan yang sama (common goal)
Saling menguntungkan (mutual benefit)
Saling percaya (mutual trust)
Bersikap terbuka (transparent)
Menjalin hubungan jangka panjang (long term relationship)
Terus menerus melakukan perbaikan dalam biaya dan mutu barang/jasa (continuous improvement in cost and quality)
Teknologi informasi sebagai katalisator Kalau partnership dapat disebuat
sebagai ‘bumbu’ yang penting untuk supply chain maka teknologi
informasi merupakan ‘katalisator’ untuk supply chain yaitu yang
mempercepat proses dan mempermudah supply chain management yang efektif
dan efisien. Keberhasilan supply chain management tidak mungkin dapat
dicapai tanpa menggunakan jasa teknologi informasi yang dalam kasus ini
harus bercirikan :
Hardware dan software harus bersifat mampu digunakan antar organisasi/ perusahaan
Clear information
Real time POS (point of sales) information
Customer and network friendly High level effectiveness dan efficiency
Dan sebagainya Oleh karena itu pengembangan teknologi informasi harus
diusahakan sepenting mengusahakan pengadaaan inventory dan mempercepat
delivery time pembelian barang.
source : http://thecasemo.blogspot.com/2013/11/model-supply-chain-dan-mengelola-aliran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar